Friday, September 01, 2006

BAGAIMANAKAH MENULIS FIKSI SECARA RILEKS?

TEKNIK MENULIS KARYA FIKSI

disusun oleh begawan
Anggota dari Desember 2002
14 Juli 200
Posted by Arwan

Belakangan sulit untuk dielakkan bahwa perkembangan cerpen Indonesia saat ini masih bergantung pada publikasi di media cetak. Ruang budaya yang tersedia di hari Minggu tak urung menjadikan hari Minggu (meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Berbicara) menjadi ‘hari cerpen’. Hal seperti ini terus terjadi karena majalah-majalah sastra, jurnal serta penerbitan lainnya di luar koran yang beredar tak cukup sebagai publikasi cerpen. Ini wajar karena penerbitan-penerbitan semacam itu sangat bergantung sekali kepada donasi atau yayasan tertentu sehingga kebanyakan tak berumur panjang. Pembaca yang sedikit dan terbatas juga menjadi kendala bagi media cetak lain, pun bagi penulis cerpen itu sendiri sehingga meminimkan jumlah publikasi cerpen Indonesia di luar koran.

Media cetak atau koran menjadi satu-satunya media yang ‘ampuh’ karena selain sebagai publikasi juga dapat dianggap bukti pengakuan para cerpenis kita. Jangkauan pembaca nan luas serta kemampuannya ‘berumur panjang’ dibanding penerbitan sastra lainnya membuat Budiarto Danujaya, salah satu kaum kritikus masa kini menyebutnya ‘sastra koran’ Hal ini terasa kian memupuk dalam perkembangan sastra modern Indonesia karena dari situlah dapat dilihat genre perkembangan cerpen Indonesia modern.

Begitu ‘ampuh’nya koran sebagai media publikasi sehingga sebuah koran tiba-tiba menjadi ‘barometer’ hampir setiap cerpenis Indonesia. Konon ‘keampuhannya’ ini akhirnya ‘menggeser’ majalah sastra Horison (satu-satunya majalah sastra Indonesia yang masih hidup) yang kini lebih berkonsentrasi kepada apresiasi sastra untuk kalangan remaja. Sebagai contoh, Kompas sebagai satu-satunya koran yang konsisten mempublikasikan cerpen setiap hari Minggu sudah menjadi rahasia umum telah ‘ditahbiskan’ kebanyakan cerpenis kita sebagai bukti pengakuan kapasitasnya sebagai sastrawan.

Sayang, tak banyak yang menyadari kondisi semacam ini justru tidak sehat. Para cerpenis pun calon sastrawan akhirnya berlomba-lomba menulis cerpen sebanyak lima-delapan halaman sesuai ruang yang tersedia di koran. Akibatnya kemampuan estetis mau tak mau harus rela berkompromi atau kasarnya terbelenggu oleh penulisnya sendiri demi memenuhi syarat pemuatan. Ide-ide cerita dengan diilhami peristiwa-peristiwa aktual di media massa tak dapat dipungkiri lagi bak ‘resep jitu’ demi menembus birokasi sastra koran. Akibat lainnya lagi perkembangan cerpen Indonesia surut dari gaya bertutur panjang yang mau tak mau harus kita akui telah dialami hampir semua cerpenis kita.

Dunia cerpen Indonesia memang berkembang karena banyak didukung ruang budaya yang tersedia di koran. Kendati berkembang demikian pesat sayangnya tak lagi menyisakan ‘kegilaan-kegilaan indah’. Cerpen macam Seribu Kunang-Kunang di Manhattannya Umar Kayam atau Dilarang Mencintai Bunga-Bunganya Kuntowijoyo mungkin menjadi kenangan manis saja bahwa perkembangan cerpen Indonesia pernah melakukan ‘kegilaan-kegilaan indah’ semacam itu. Hal ini masih diperparah dengan pelan-pelan ditinggalkannya intensitas menulis panjang karena koran sebagai satu-satunya media publikasi tak mampu menyediakan ruang yang luas.

Intensitas menulis panjang yang kian surut itu sadar atau tidak tak mampu membangun karakter kuat. Cerpen-cerpen diatas (Umar Kayam dan Kuntowijoyo) memang pernah dimuat di koran, namun ‘kegilaan’ dengan gaya bertutur semacam itupun ternyata juga telah ditinggalkan. Ragam permasalahan yang dengan segala hormat hanya melulu mencuplik peristiwa aktual pada akhirnya membelenggu kreativitas penulisnya sendiri.

Profil begawan
begawan adalah salah satu warga WebGaul yang sangat menyukai karya sastra baik puisi maupun cerpen. Karena semangatnya dia juga terpilih menjadi salah satu moderator di forum Webgaul

Tulisan lain yang ditulis oleh begawan
» Love in Unreal Garden
» Cinta di taman maya
» Swimming Pool
» Frida
» THE EXORCIST (1973)


MISKIN NOVELIS

Dalam berbagai diskusi sastra maupun pemberitaan di media cetak seringkali kaum kritikus kita mengeluh betapa miskinnya Indonesia dengan karya novel. Novel-novel semacam Saman dan Supernova dianggap sebagai penawar dahaga sastra Indonesia di tengah-tengah miskinnya novel-novel baru kita. Kehadiran dua novel eksperimental tersebut akhirnya dianggap beberapa kritikus sastra kita sebagai gebrakan. Kendati dua novel itu berhasil membuat gebrakan sayangnya belum mampu menggairahkan penulis-penulis muda kita menulis novel.

Mungkin terlalu berlebihan jika kita akhirnya telah sampai pada posisi menunggu lahirnya novelis baru lagi dengan berbagai ‘kegilaan’nya semacam dua novel yang disebutkan tadi. Tapi, apa boleh buat jika memang pada kenyataannya intensitas menulis panjang telah ditinggalkan kebanyakan penulis kita? Bukankah dengan ditinggalkannya intensitas ini berkaitan pula dengan minimnya karya-karya novel baru kita?

Karya-karya besar sastra dunia justru lahir dari intensitasnya menulis panjang. Metamorphosenya Kafka atau Karakter yang Menderitanya Luigi Pirandello (pemenang Nobel sastra tahun 1934) adalah salah satu contoh karya cerpen kelas dunia yang mampu menorehkan tinta emas dalam perkembangan dunia sastra. Indonesia sendiri pasca karya Pramoedya Ananta Toer bukannya tak ada dengan intensitas menulis macam itu. Dunia sastra Indonesia pernah melakukannya lewat Idrus (Dari Ave Maria sampai Jalan lain ke Roma) atau Orang-Orang Bloomingtoonnya Budi Darma. Bahkan salah satu masterpiece Budi Darma, Olenka semula diniatkan penulisnya sebagai cerpen bukan novel.

Menulis cerpen di koran memang tidak salah. Tapi hal inilah yang tanpa disadari adalah salah satu akibat dari ditinggalnya intensitas menulis panjang. Menulis cerpen sendiri pun seperti sudah disinggung di awal tulisan ini akhirnya membelenggu kreativitas penulisnya sendiri karena keterbatasan ruang di koran. Memang tak dapat dipungkiri menulis cerpen yang baik dengan panjang sebanyak lima-delapan halaman saja adalah tantangan kreatif berkarya. Tapi apakah para penulis kita harus terus menerus berkutat dengan tantangan semacam itu? Tentu tidak bukan? Bukankah masih banyak hal-hal lain yang perlu digali?

di Forum WebGaul (WG)
» Komunitas Warga WG
» WebGaul Spesial
» Hiburan & Seni
» Komputer & Teknologi
» Olahraga & Kesehatan
» Hobby & Games


Apa untuk bikin sebuah novel harus berkutat dengan riset2...
maksud gue, ambil contoh Saman, ini sebuah novel yang sangat diupayakan...
yang nulis barangkali engga begitu tau soal Washington, soal Prabumulih, soal mistik Jawa, soal internet...
novel Akar... konsep2 religi Buddha dan mitos2 Celtic, belum lagi setting-nya yg nyaris satu asia tenggara itu...

jgn salah lho, novel yg bagus emang butuh upaya...
tapi ya itu tadi... entar jangan2 kita lebih terpaku sama kompleksitas "ornamen2" ketimbang sama "human nature"-nya... karna menurut gw inti sastra/novel ada di nilai2 humanis
ornamen itu sama seperti dekorasi...
make-up gitu deh... dandanan...

gw cuma berpikir bahwa sebagus2nya dandanan, tetep ga bisa menggantikan sosok asli kita... soal budaya politik sains religi setting dll dalam novel itu cuman kostum (menurut gw) dan barangkali bonus wawasan lah, tapi intinya kan kita ngomongin soal manusia, klo novel itu enga menawarkan pemahaman ato pemikiran soal kemanusiaan buat pembacanya, mmm... hehe, gimana yak??

tapi gw bukannya ngomongin soal nilai moral suatu novel lho, itu beda dari yg gw maksud...

posted by homer
menurut gue, latar itu penting dan ada latar yang harus dibedakan dengan cap ornamen atau dandanan.
karena ada latar yang sekedar show off dan ada yang harus melekat pada cerita itu.

jumpha lahiri misalnya diprotes oleh kritikus sastra di india karena dituduh hanya menampilkan eksotisme india kepada barat, padahal kita tau cerpen penafsir kepedihan itu sangat manusiawi sekali, tapi pelekatan budaya dalam cerpen itu dianggap tidak pas oleh kritikus sasra india ( sudah lama lahiri tidak mengunjungi india )
pelekatan budaya seperti ini tidak bisa disebut ornamen.
tentu beda kalo cerita roman percintaan penuh selingkuh seperti supernova yang melekatkan schrodinger, chaos, paradoks dan asimov stuff, ini bisa disebut ornamen.

rasanya aneh membaca para priyayi tanpa mengetahui sejarah setempat. satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Apalagi kalo kita berbicara soal realisme.

itu sebabnya Alm umar kayam memulai cerita dengan siapa si tokoh dan darimana dia berasal tanpa lupa menceritakan sejarah daerah itu dulunya.
ini sih menurut pengalaman dari membaca aja.

Sumber: Jakartaschool.net